JATENGKU.COM, DEMAK – Di tengah derasnya arus pembangunan fisik dan digitalisasi desa, ada satu nilai yang justru tak tergantikan: rasa aman. Itulah simpul utama dari kegiatan penjaringan aspirasi yang dilakukan Tim KKNT SDGs Universitas Diponegoro di Desa Purworejo, Kecamatan Bonang, Kabupaten Demak. Bukan sekadar data teknis atau permintaan infrastruktur, ratusan suara warga justru menyuarakan satu hal yang telah mereka miliki dan jaga erat: kedamaian.
Program ini digagas oleh Nada Nedia, mahasiswi UNDIP yang bersama tiga rekannya Farras Narendra Fata, Azizah Charis Hanifah, dan Reyvani Alika Riksa menyusuri tujuh RW selama lebih dari tiga minggu, dari 10 hingga 31 Mei 2025. Dengan metode wawancara semi-struktural, tim berhasil menghimpun data dari 104 responden, mencakup spektrum kebutuhan dari infrastruktur, ekonomi, layanan publik, pendidikan, hingga kesehatan dan keamanan.
Hasilnya menegaskan tantangan yang jamak dihadapi desa pesisir: 69% warga mengeluhkan kondisi jalan rusak (terutama di Jalan Pongangan dan Tambakmalang), 42% tidak memiliki akses sistem pengelolaan sampah, dan 31%—kebanyakan nelayan—masih kesulitan mendapatkan solar karena birokrasi distribusi. Selain itu, kritik juga muncul terhadap ketimpangan bantuan sosial dan minimnya sarana pendidikan di wilayah tertentu.
Namun dari seluruh persoalan itu, satu fakta mencuat dan menampar asumsi lama tentang pembangunan desa: 100% warga menyatakan bahwa Desa Purworejo adalah desa yang sangat aman.
“Kita tinggal di sini tenang. Motor bisa ditaruh di luar rumah, kunci nyantol, nggak ada yang hilang. Anak-anak main malam juga nggak khawatir,” ujar seorang warga RW 2 yang ditemui saat survei.
Mendengar bukan cukup. Salah satu anggota tim bahkan melakukan eksperimen kecil: meletakkan tas berisi ponsel dan uang tunai di atas motor yang diparkir di pinggir jalan. Tiga jam kemudian, tas itu tetap utuh. Tak tersentuh.
Ini bukan tentang minimnya kejahatan tapi tentang hadirnya budaya saling menjaga. Di Purworejo, keamanan bukan produk dari CCTV atau pos ronda, melainkan hasil dari jejaring sosial yang kuat, nilai komunal, dan tingkat kepercayaan antarwarga yang tinggi. Dalam konteks pengembangan wilayah, rasa aman adalah pondasi awal dari stabilitas sosial dan ekonomi. Dan Purworejo sudah memilikinya.
Nada Nedia, sebagai inisiator program, menekankan pentingnya mendengar warga secara langsung sebelum membuat intervensi pembangunan. “Kita nggak bisa bangun desa dari Excel sheet atau proposal kosong. Harus dimulai dari suara mereka, dari cerita mereka,” ujarnya.
Pendekatan ini sejalan dengan semangat SDGs (Sustainable Development Goals), khususnya pilar ke-16: Peace, Justice and Strong Institutions. Desa Purworejo, dalam diamnya, telah menunjukkan bahwa institusi sosial paling kuat seringkali lahir bukan dari papan nama, tapi dari kepercayaan yang dijaga turun-temurun.
Bagi Tim KKNT, ini adalah pelajaran yang tak ternilai: bahwa membangun desa tidak selalu tentang menambah, tapi juga tentang merawat. Karena dalam era di mana keamanan jadi barang mahal di banyak tempat, Purworejo justru telah memeliharanya sebagai aset kolektif tanpa label, tanpa birokrasi, hanya dengan rasa saling percaya.
Dan seperti kutipan Bung Hatta yang mereka kutip di akhir laporan:
“Suara rakyat adalah suara keramat. Pemerintah yang baik adalah yang mau mendengar.”
Hari itu, Nada dan timnya tidak hanya mendengar. Mereka mencatat. Mereka menyebarkannya. Agar desa seperti Purworejo tidak hanya dikenal karena yang belum dimiliki, tetapi juga karena apa yang sudah berhasil dijaga.