JATENGKU.COM, SURABAYA — Kolegium kedokteran sejatinya adalah lembaga ilmiah independen yang dibentuk oleh organisasi profesi kedokteran untuk setiap cabang disiplin ilmu. Undang-Undang Praktik Kedokteran menyebut bahwa “Kolegium kedokteran dibentuk oleh organisasi profesi untuk setiap cabang disiplin ilmu yang bertugas mengampu cabang ilmu tersebut”.
Dengan demikian, sejak awal kolegium dirancang sebagai badan akademik yang mengawal standar pendidikan dan kompetensi dokter spesialis berdasarkan keilmuan dan pengalaman praktisi. Independensi ini penting agar penetapan kurikulum dan standar kompetensi dokter berlandaskan kebutuhan ilmiah dan profesional, bukan kepentingan eksternal. Independensi kolegium menjadi kunci agar keputusan-keputusan terkait pendidikan kedokteran diambil berdasarkan kajian keilmuan yang sistematis, bukan kepentingan politik atau administratif.
Secara akademik, kemandirian kolegium berfungsi sebagai penyeimbang kepentingan antara dunia akademik, profesi, dan regulasi negara. Para guru besar dan dekan fakultas kedokteran yang selama ini merupakan garda terdepan penyusun standar pendidikan dokter memiliki pengetahuan mendalam tentang kebutuhan keilmuan seorang dokter di Indonesia sesuai dengan pengetahuan yang mutakhir.
Mereka memahami perkembangan ilmu kedokteran terkini dan implikasinya dalam kurikulum. Oleh karena itu, sebuah hal yang wajar jika komunitas kedokteran di Indonesia menilai bahwa keanggotaan kolegium sebaiknya dipilih oleh para ahli di bidangnya, bukan ditunjuk oleh pihak lain, apalagi yang terkait dengan lembaga eksekutif. Intervensi pihak luar dalam menetapkan standar akademik berisiko menimbulkan konflik kepentingan.
Seorang akademisi kesehatan bahkan mengingatkan bahwa penempatan kolegium di bawah kendali pemerintah akan berpotensi menimbulkan konflik kepentingan dan mengancam kualitas pendidikan kedokteran. Fakta ini menggarisbawahi bahwa keputusan perihal kurikulum dan kompetensi dokter harus dikembalikan kepada kalangan akademisi dan praktisi yang benar-benar paham seluk-beluk pendidikan kedokteran.

Ancaman Intervensi Politik dan Institusi
Dalam beberapa tahun terakhir, telah terjadi pergeseran kebijakan yang menimbulkan kekhawatiran tentang pengaruh politik dalam pendidikan kedokteran. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan mengubah struktur kolegium. Pasal 272 undang-undang tersebut mendefinisikan kolegium sebagai kelompok ahli dari setiap bidang ilmu kesehatan yang mengampu bidang tersebut, yang dalam melaksanakan tugasnya bersifat independen dan merupakan alat kelengkapan Konsil. Istilah “secara independen” menyiratkan bahwa kolegium akan mempertahankan otonominya.
Namun, peraturan pelaksana menunjukkan perubahan yang signifikan. Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 menempatkan kolegium sepenuhnya di bawah kendali Kementerian Kesehatan. Menteri Kesehatan kini memiliki wewenang untuk mengangkat dan memberhentikan anggota kolegium, yang secara efektif menghilangkan kemandirian kolegium.
Secara internasional dan historis, kurikulum kedokteran di banyak negara maju dikelola oleh badan akademik profesional, bukan oleh entitas pemerintah. Situasi saat ini di Indonesia tidak biasa, di mana lembaga yang merupakan garda terdepan mutu pendidikan kedokteran kini bergeser status menjadi semata “alat kelengkapan konsil” yang tunduk pada kementerian.
Ketergantungan kolegium pada kebijakan politik juga terlihat dalam praktik nyata di lapangan. Misalnya, standar baru untuk kompetensi dokter spesialis yang direncanakan oleh kolegium yang dibentuk pemerintah belum menghasilkan acuan ataupun referensi apa pun. Mereka terus mengandalkan standar yang ditetapkan oleh kolegium lama.
Hal ini mencerminkan kurangnya pengalaman dan jaringan ahli di kolegium baru. Sementara itu, kolegium profesional independen, seperti Kolegium Ilmu Kesehatan Anak, telah mengembangkan standar pendidikan mereka selama puluhan tahun dan tersebar luas di seluruh Indonesia. Perbedaan efisiensi ini menggambarkan risiko ketika institusi pendidikan dikendalikan oleh kebijakan administratif bukan kebijakan akademis.
Ketidakberdayaan kolegium di era baru semakin nyata ketika banyak akademisi dan praktisi mendesak agar kebijakan pemerintah direvisi. Sekitar 132 dekan fakultas kedokteran dari universitas negeri dan swasta di seluruh Indonesia menyampaikan kekhawatiran bahwa independensi kolegium akan berkurang drastis. Asosiasi Institusi Pendidikan Kedokteran Indonesia (AIPKI) bahkan berniat menyurat kepada Presiden untuk meninjau ulang kebijakan tersebut.
Respons ini menunjukkan bahwa dunia akademik menganggap hal ini serius demi menjaga integritas pendidikan kedokteran. Apabila suara akademisi, yang notabene berpengalaman menyusun kurikulum kedokteran diabaikan, maka standar pendidikan berisiko disesuaikan dengan kepentingan politik jangka pendek.
Dasar Hukum dan Regulasi yang Relevan
Keberadaan kolegium kedokteran juga diatur dalam landasan hukum. Sebelum UU Kesehatan 2023, Undang-Undang Praktik Kedokteran menegaskan kolegium sebagai badan yang dibentuk organisasi profesi Ini menggambarkan esensi kolegium sebagai institusi internal profesi yang mengampu ilmu kedokteran.
Setelah UU Kesehatan diberlakukan, Pasal 272 UU 17/2023 mencantumkan frase “tugas dan fungsi secara independen”, tetapi juga menegaskan kolegium sebagai alat kelengkapan konsil. Kemudian, PP 28/2024 secara eksplisit meletakkan pengangkatan anggota kolegium dalam wewenang Menteri Kesehatan. Dampaknya adalah kolegium sekarang bukan lagi lembaga akademik yang dipilih oleh sejawat dokter, melainkan entitas birokratis yang rentan intervensi pemerintahan.
Rekomendasi Pengembalian Mandat Akademik
Langkah pemerintah memberlakukan keputusan Menkes tentang keanggotaan Kolegium di dalam Kolegium Kesehatan Indonesia (No. HK.01.7/MENKES/1581/2024) mempertegas kekhawatiran ini. Banyak pihak menilai keputusan ini sudah merupakan intervensi kekuasaan terhadap otoritas keilmuan kolegium. Jika dibandingkan, Mahkamah Konstitusi menekankan dalam putusannya tahun 2015 bahwa dewan medis, serupa dengan kolegium, harus bersifat independen dan terpisah dari lembaga kesehatan publik.
Pemisahan ini sangat penting untuk menjaga keputusan medis bebas dari pertimbangan non-medis. Kasus saat ini menyoroti bahwa penggabungan fungsi kolegium ke dalam struktur kementerian bertentangan dengan prinsip otonomi profesional.
Mengingat aspek akademik dan hukum yang disebutkan, kita memerlukan tindakan tegas untuk memulihkan peran akademik kolegium.
Pertama, kita harus mendefinisikan ulang kolegium sebagai badan ilmiah yang independen. Legislasi kesehatan harus diperbarui untuk mencerminkan bahwa kolegium adalah lembaga profesional, bukan alat birokrasi.
Kedua, organisasi profesi (IDI/PDGI) perlu menangani proses seleksi untuk administrator pendidikan tinggi berdasarkan prestasi ilmiah. Hal ini sesuai dengan standar internasional, di mana para ahli, bukan pemerintah, yang menetapkan kurikulum kedokteran.
Ketiga, kita perlu mengevaluasi pembentukan Universitas Kesehatan Indonesia dan keputusan Menteri Kesehatan mengenai keanggotaan untuk memastikan kesesuaiannya dengan prinsip-prinsip Undang-Undang Dasar 1945, yang mendorong perkembangan ilmu pengetahuan dan pendidikan.
Otonomi ilmiah dalam pendidikan kedokteran adalah hal yang esensial, bukan opsional. Sebagai mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, saya yakin bahwa melindungi kemandirian kolegium sangat penting untuk mendidik dokter masa depan berdasarkan standar ilmiah yang kokoh, bukan agenda politik.
Dengan dukungan komunitas akademik dan kebijakan publik yang tepat, kita dapat memulihkan kemandirian kolegium. Ini adalah langkah penting menuju jaminan kualitas dalam pendidikan kedokteran dan keamanan publik jangka panjang.
Penulis: Al Davi Muhammad Azriel Firdaus, Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga











