JATENGKU.COM, JAKARTA — Teknologi AI-Generated menjadi ancaman baru yang berpotensi menimbulkan hoaks di media sosial. Konten yang dihasilkan seperti foto maupun video yang tampak asli, tetapi ternyata merupakan hasil rekayasa AI, telah menandai era baru dalam penyebaran hoaks dan disinformasi. Saat ini bukan hanya informasi palsu berupa teks berantai atau gambar editan yang beredar luas di media sosial, tetapi konten visual yang lebih kompleks dan berbasis kecerdasan buatan yang mampu menipu indra sekaligus akal sehat.

Video Hoaks AI-Generated (Sumber: @layardibalik.id/tiktok)

Sebagai contoh, di media sosial tiktok, terdapat sebuah video berupa penemuan putri duyung di pantai selatan yang diunggah oleh akun dengan nama @layardibalik.id. Video ini jelas menyesatkan masyarakat karena putri duyung adalah makhluk mitologi yang tak nyata. Setelah ditelusuri oleh Tim Pemeriksa Fakta Mafindo, konten tersebut 100% merupakan hasil rekayasa AI.

Belakangan ini, media sosial juga dihebohkan dengan teknologi AI terbaru dari Google, yakni Google Veo 3. Mengutip dari Datacamp, Google Veo 3 adalah model kecerdasan buatan yang mampu mengubah teks atau gambar menjadi video berkualitas tinggi. Veo 3 dilengkapi dengan integrasi audio secara langsung sehingga dapat menghasilkan dialog yang sinkron, hingga suara dan musik latar secara otomatis. Kemampuan ini memungkinkan Veo 3 menciptakan video yang terasa sangat realistis.

Video Hoaks Buatan Veo 3 (Sumber: @rikiantonii_/Tiktok)

Salah satu contoh penyalahgunaan Veo 3 sebagai alat penyebaran hoaks juga ditemukan di media sosial Tiktok. Sebuah akun bernama @rikiantonii_ mengunggah video yang menampilkan seorang WNA melakukan protes terhadap tindakan pejabat Indonesia terkait aktivitas penambangan di Raja Ampat dengan narasi yang tidak etis dan provokatif.

Konten ini tergolong sebagai hoaks karena latar lokasi Raja Ampat yang digunakan tidak menggambarkan kondisi sebenarnya. Sosok WNA dalam video tersebut juga bukanlah orang sungguhan dan semua yang ada di dalam video adalah hasil rekayasa Veo 3. Hal ini tentunya sangat berbahaya karena dapat memicu perpecahan dan kekeliruan pada masyarakat sehingga isu utama Raja Ampat menjadi pun teralihkan.

Jenis konten seperti ini dikategorikan sebagai fabricated content, salah satu bentuk paling ekstrem dari disinformasi menurut klasifikasi Derakhshan dan Wardle (2017). Berbeda dengan konten yang hanya dipelintir atau keluar dari konteks, fabricated content adalah informasi palsu yang dibuat dari nol, tanpa dasar fakta sama sekali. Diperparah dengan kemampuan AI dalam menciptakan gambar, video, dan suara yang menyerupai kenyataan, konten seperti ini makin sulit untuk dikenali oleh pengguna media sosial yang awam.

Mengutip data dari We Are Social (2025), sebanyak 50,2% populasi Indonesia merupakan pengguna aktif media sosial, dengan durasi pemakaian mencapai lebih dari tiga jam per hari. Sementara itu, dilihat dari penyebaran demografinya, pengguna media sosial terbanyak didominasi oleh orang-orang berusia 25 hingga 34 tahun, dengan 17,7% perempuan dan 21,5% pria. Banyak anggapan yang beredar bahwa kelompok usia lanjut (baby boomer) lebih rentan terhadap hoaks dan menjadi penyebar utama informasi palsu. Namun, pandangan tersebut tidak sepenuhnya tepat.

Penelitian menunjukkan bahwa generasi muda justru lebih sering terjebak dalam penyebaran hoaks dibandingkan generasi yang lebih tua (Maulidina, 2020). Fakta ini mengindikasikan bahwa kerentanan terhadap disinformasi tidak semata-mata ditentukan oleh faktor usia, melainkan oleh tingkat literasi digital dan kemampuan kritis dalam memilah informasi. Sementara itu, orang tua lebih mudah terpengaruh ketika informasi disampaikan dalam ruang yang dianggap aman, misalnya seperti grup keluarga di WhatsApp (Butar, 2022).

Alih-alih mempertajam perbedaan antara generasi muda dan tua, pendekatan yang lebih konstruktif dapat dilakukan dengan melihat potensi kolaboratif di antara keduanya. Generasi Baby Boomer, misalnya, kerap mempercayai informasi yang diterima karena adanya kedekatan emosional. Terutama jika pesan berasal dari grup keluarga di WhatsApp (Butar, 2022). Di sisi lain, terdapat keterbatasan dalam pengalaman literasi digital, seperti penggunaan perangkat dan pengelolaan informasi, turut menjadi tantangan tersendiri (Soler, 2019). Tak jarang pula mereka membutuhkan validasi dari generasi yang lebih muda ketika menemui informasi yang mencurigakan (Utami, 2024).

Generasi muda dan Generasi Tua (Sumber: freepik)

Sementara itu, Generasi Z justru memiliki keunggulan dalam hal kecakapan teknologi, kemampuan multitasking, serta kecepatan dalam menyerap informasi. Kepedulian mereka terhadap isu sosial dan lingkungan juga menjadikan mereka agen penting dalam membangun ekosistem digital yang sehat (Faznidatul dkk., 2024). Peran mereka sebagai “jembatan” tak hanya membantu orang tua dalam memahami cara bermedia sosial secara aman dan bijak, tetapi juga membuka ruang dialog antar generasi untuk bersama-sama melawan penyebaran hoaks (Randall dkk., 2015).

Fenomena ini mencerminkan bahwa akar masalah penyebaran hoaks bukan sekadar pada teknologi, melainkan pada kualitas pemahaman digital masyarakat. Literasi digital, kecakapan verifikasi informasi, serta kesadaran kritis menjadi kunci utama untuk menanggulangi penyebaran konten hoaks AI-Generated secara menyeluruh. Pendekatan antargenerasi yang mengedepankan saling belajar dan saling menguatkan dapat menjadi fondasi yang kuat untuk membangun budaya digital yang sehat.

Peran institusi pendidikan, komunitas, media, dan pemerintah menjadi sangat krusial dalam merespons perkembangan ini. Penyusunan kurikulum berbasis literasi digital, pelatihan deteksi konten AI, hingga pembuatan regulasi tersendiri yang mengatur tentang AI perlu diprioritaskan agar masyarakat tidak hanya menjadi konsumen informasi, tetapi juga aktor yang kritis dan bertanggung jawab dalam ekosistem digital.

Untuk menghadapi derasnya fabricated content, terutama yang dihasilkan oleh kecanggihan AI, diperlukan kewaspadaan yang lebih tinggi. Masyarakat perlu membiasakan diri untuk memeriksa ulang sumber informasi, mengamati kejanggalan visual atau narasi yang muncul dalam konten, serta membandingkan dengan informasi dari sumber tepercaya lainnya. Alat pendeteksi konten AI dan hoaks kini juga tersedia dan bisa dimanfaatkan untuk membantu proses verifikasi.

Selain itu, membaca respons atau komentar dari pengguna lain kadang bisa memberi petunjuk apakah konten tersebut mencurigakan. Tak kalah penting, biasakan untuk tidak langsung menyebarkan informasi sebelum memastikan kebenarannya. Sikap bijak dalam bermedia sosial menjadi kunci utama untuk tidak terjebak dalam arus disinformasi.

Melawan hoaks di era teknologi AI bukanlah tugas mudah. Namun, dengan peningkatan kesadaran, kolaborasi antar generasi, dan pendekatan literasi digital yang menyeluruh, penyebaran hoaks dapat ditekan secara signifikan. Dalam dunia yang terus bergerak cepat ini, membangun masyarakat yang cakap, waspada, dan bijak adalah strategi terbaik untuk menghadapi tantangan yang kian kompleks.

Penulis: Nabila Yasmin, Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Pembangunan Nasional “Veteran Jakarta

Editor: Handayat

Tag