JATENGKU.COM, SEMARANG — Di tengah hiruk-pikuk Pasar Johar Semarang, aroma serai wangi dan nilam sering menyelinap di antara tumpukan rempah dan jajanan khas lumpia. Minyak atsiri cairan ajaib yang diekstrak dari tanaman seperti serai, nilam, cengkeh, atau bahkan limbah tandan kosong kelapa sawit (TKKS) bukan barang asing bagi warga Jawa Tengah. Indonesia, dengan keanekaragaman hayati nomor dua di dunia, seharusnya jadi raja pasar global senilai Rp 300 triliun (Grand View Research, 2024). Tapi kenyataannya? Kita masih jadi penonton. Impor minyak atsiri melonjak 15% pada 2024 (BPS, 2025), sementara petani di Kendal, Demak, hingga Pekalongan bergulat dengan harga jatuh dan alat penyulingan kuno. Ini masalah nyata: potensi emas hijau Jateng terbuang, petani miskin, dan industri lokal kehabisan napas.

A bottle of oil with a dropper AI-generated content may be incorrect.

Petani Terjepit, Limbah Menumpuk

Bayangkan Mbak Siti, petani serai wangi di Desa Kandangpanjang, Pekalongan. Dia panen 4–5 ton daun per hektar setiap empat bulan, tapi hanya dapat Rp 15.000 per kg daun basah (Dinas Pertanian Jateng, 2024). Disuling pakai drum bekas dan kayu bakar, hasil minyaknya cuma 1–1,5% dari berat daun, kualitas rendah karena suhu tak terkontrol. Harga jual di tingkat petani? Rp 400.000–600.000 per liter, padahal pasar nasional bisa Rp 1,2 juta (Kementan, 2023). Rantai pasok amburadul: tengkulak ambil untung 60%, petani dapat sisanya.

Data Dinas Pertanian Jateng (2024) menyebut, dari 12.000 hektar lahan tanaman atsiri di provinsi ini termasuk nilam di Wonosobo dan jahe di Temanggung hanya 25% pakai penyulingan modern. Sisanya? Masih boros dan berpolusi.

Limbah sawit juga jadi bom waktu. Jateng punya 250.000 hektar kebun sawit (terutama Pati dan Rembang), hasilkan 1,5 juta ton CPO per tahun (Gapki Jateng, 2024). Tapi TKKS limbah 23% dari tandan dibiarkan menumpuk atau dibakar, sumbang 150.000 ton CO₂ setara tiap tahun (IPCC, 2019; KLHK, 2024). Padahal, TKKS kaya senyawa aromatik seperti vanilin dan guaiacol (Sukiran et al., 2021). Di Malaysia, mereka sudah suling minyak atsiri dari TKKS dengan hasil 0,5–1% berat kering, jadi bahan sabun premium (MPOB, 2023). Di Semarang? Pabrik besar seperti Wings atau Sasa impor dari luar, meski petani sawit lokal butuh tambahan Rp 3–7 juta per hektar dari limbah ini.

Akar Masalah dari Lab hingga Lapangan

Mari kita kupas akar masalahnya:

  1. Teknologi kuno. Penyulingan tradisional efisiensinya cuma 50%, banyak minyak menguap (Astuti et al., 2023). Di lab Kimia dapat di uji ekstraksi berbantu microwave pada serai wangi: hasil naik jadi 3%, proses turun dari 5 jam jadi 45 menit, energi hemat 65% (Pratama et al., 2025 penelitian internal). Tapi alat Rp 40 juta itu mana mampu dibeli kelompok tani?
  2. Rantai pasok terputus. Pabrik di Semarang butuh 50 ton minyak atsiri per bulan, tapi petani kecil suplai tak pasti (Susila, 2024). Kontrak gagal, impor menang.
  3. Dukungan pemerintah setengah hati. Insentif untuk atsiri kalah jauh dari padi atau jagung. Padahal, satu hektar serai bisa kasih Rp 40 juta per tahun (Kementan, 2023). Limbah TKKS? Program zero waste ada di RPJMD, tapi eksekusi nol (Pemprov Jateng, 2024).
  4. Pasar lokal lemah. Warga Semarang lebih pilih sabun impor karena kemasan cantik, padahal minyak atsiri dari Pekalongan punya aroma khas citral 68–72% (GC-MS UNNES, 2025).

Analisis SWOT sederhana:

  • Kekuatan: Jawa Tengah punya tanah vulkanik kaya nutrisi (seperti di lereng Merapi & Merbabu), cocok untuk serai wangi, nilam, jahe, kenanga, hingga kayu putih. Total 30 spesies komersial siap dipanen sepanjang tahun (Dinas Pertanian Jateng, 2024).
  • Kelemahan: Petani kecil sulit beli alat penyulingan Rp 40–150 juta. Hanya 25% lahan pakai teknologi modern. Banyak petani belum tahu cara tingkatkan yield dari 1,5% jadi 3%.
  • Peluang: Permintaan minyak atsiri alami (untuk parfum, sabun, obat nyamuk) melonjak karena tren clean beauty & zero waste. Nilai pasar dunia: Rp 300 triliun, dan terus naik!
  • Ancaman: Banjir Demak rusak 30% tanaman serai tiap musim hujan. Vietnam sudah kuasai pasar nilam global dengan teknologi murah & kontrak stabil, ekspor naik 25% dalam 2 tahun.

Dari Kampus UNNES hingga Kebun Pekalongan

Solusi harus nyata, mulai dari Semarang:

1. Subsidi alat modern berbasis desa.

Pemprov Jateng subsidi unit microwave distillation Rp 150 juta via KUR 0%. Model koperasi di Pekalongan: produksi naik 180%, petani dapat Rp 900.000 per liter.

2. Integrasi limbah sawit. PTPN IX bangun pilot plant ekstraksi TKKS di Pati.

Teknologi superheated steam: dari 100 ton TKKS → 400 liter minyak senilai Rp 400 juta. Petani plasma dapat bagi hasil 15% (model Riau, PTPN V, 2024).

3. Platform digital “Atsiri Jateng”.

Aplikasi hubungkan petani ke pabrik, stok real-time, kualitas dicek sensor IoT Rp 400.000/unit, bayar via QRIS. Startup lokal seperti Ngawonggo kembangkan → potong tengkulak 35% (inspirasi TaniHub, 2024).

4. Branding & edukasi.

Kampanye “Aroma Jateng: Minyak Atsiri Asli Nusantara” di Instagram & TikTok. UNNES jadi pusat pelatihan gratis: bibit unggul, teknik suling, sertifikasi halal.

5. Insentif pajak daerah.

Perusahaan pakai 60% atsiri lokal dapat diskon PBB 10%. Proyeksi: 50.000 lapangan kerja baru di Jateng dalam 3 tahun (estimasi berdasarkan model Aceh, Kemenperin, 2024).

Semarang Wangi, Petani Sejahtera

Bayangkan Jateng 2030:

  • Ekspor atsiri Rp 1 triliun
  • Petani Pekalongan naik haji dari serai
  • Limbah sawit di Pati jadi parfum
  • Aroma nilam Wonosobo wangi di mall Semarang

Ini bukan khayalan. Dari kampus UNNES di Sekaran hingga kebun di lereng Merapi, minyak atsiri adalah harapan. Pemerintah daerah, BUMD, kampus, dan petani harus satu suara. Jangan biarkan setetes potensi ini menguap. Suling masa depan Jateng jadi emas hijau, petani Sejahtera. Semarang wangi, Indonesia bangga.

Referensi:

  1. Astuti, R. D., et al. (2023). Optimasi Destilasi Uap Tradisional vs Microwave-Assisted pada Serai Wangi. Jurnal Kimia Terapan Indonesia, 25(2), 112–120.
  2. BPS. (2025). Impor Komoditas Kimia Organik 2024. Badan Pusat Statistik.
  3. Dinas Pertanian Jateng. (2024). Laporan Produksi Tanaman Atsiri Provinsi Jawa Tengah 2023–2024.
  4. Gapki Jateng. (2024). Data Produksi CPO dan Limbah Sawit Jawa Tengah.
  5. Grand View Research. (2024). Essential Oils Market Size, Share & Trends Analysis Report.
  6. IPCC. (2019). Refinement to the 2006 IPCC Guidelines for National Greenhouse Gas Inventories.
  7. KLHK. (2024). Laporan Emisi Sektor Kehutanan dan Perkebunan.
  8. Kementan. (2023). Pedoman Pengembangan Tanaman Atsiri. Direktorat Jenderal Perkebunan.
  9. Kemenperin. (2024). Laporan Program Hilirisasi Atsiri Aceh.
  10. MarketsandMarkets. (2024). Essential Oils Market by Product Type, Application, Region Global Forecast to 2029.
  11. MPOB. (2023). Valorization of Oil Palm Empty Fruit Bunch for Bioaroma Production. Malaysian Palm Oil Board.
  12. Pratama, A. R., et al. (2025). Laporan Penelitian Internal: Microwave-Assisted Extraction pada Serai Wangi. Lab Kimia UNNES (unpublished).
  13. Pemprov Jateng. (2024). RPJMD Jawa Tengah 2024–2029: Program Zero Waste Sawit.
  14. Sukiran, M. A., et al. (2021). Pyrolysis of Oil Palm Empty Fruit Bunch: Bioaroma Compounds. Journal of Analytical and Applied Pyrolysis, 158, 105–112.
  15. USDA. (2025). Vietnam Essential Oils Export Report 2024. United States Department of Agriculture.

Penulis: Ardha Hafiidh Friansyah, Mahasiswa Program Studi Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Negeri Semarang (UNNES), Semarang.

Editor: Handayat