JATENGKU.COM — Ketika kita bicara soal pembiayaan, banyak orang langsung terbayang dengan kata “utang.” Sayangnya, utang dalam sistem keuangan konvensional seringkali identik dengan bunga, denda keterlambatan, dan beban psikologis yang menekan. Namun, di sinilah perbankan syariah hadir membawa solusi—dengan pembiayaan berbasis jual beli yang bebas riba dan menjunjung tinggi keadilan.

Dalam praktiknya, pembiayaan jual beli syariah menggunakan akad-akad seperti murabahah (jual beli dengan margin laba), salam (pembayaran pertama, barang akan dikirim nanti), dan istisna (item pesanan  yang dibuat sesuai dengan permintaan). Akad-akad ini tidak hanya berlaku di Syariah, tetapi juga sangat relevan dengan kebutuhan modern, seperti pembelian rumah, kendaraan, hingga modal usaha.

Banyak orang salah paham dan berpikir bahwa margin murabahah sama dengan bunga. Faktanya, murabahah melibatkan transaksi riil—bank benar-benar membeli barang yang dimaksud, kemudian menjualnya kepada nasabah dengan harga yang mereka setujui sejak awal. Tidak ada ketidakjelasan, tidak ada spekulasi, dan tidak ada biaya tambahan karena keterlambatan (delay).

Sebagai seorang mahasiswa yang telah mempelajari dan mengamati praktik keuangan syariah, kami menemukan  bahwa transparansi adalah kunci utama dalam pembiayaan jual beli ini.

Nasabah tahu berapa harga barang, berapa banyak margin keuntungan bank, dan berapa banyak yang harus mereka bayar. Tidak akan terkejut di tengah jalan seperti sistem bunga. Namun, tantangannya adalah bagaimana bank-bank syariah dapat secara konsisten mempertahankan prinsip ini.

Jika bank hanya mengejar margin tanpa mempertimbangkan kemampuan bayar nasabah, maka hasilnya akan sama saja dengan perubahan beban, karena utang konvensional bukanlah solusi. Oleh karena itu, manajemen risiko dan analisis kelayakan sangat penting dalam setiap proses pembiayaan.

Menurut pendapat saya, Pembiayaan berbasis jual beli dapat menjadi alternatif terbaik bagi masyarakat yang ingin memiliki aset atau mengembangkan usaha tanpa terjebak dalam riba. Namun, untuk mewujudkannya, peningkatan literasi masyarakat sangat penting.

Edukasi yang berkelanjutan diperlukan agar masyarakat memahami bahwa dalam Islam, utang diperbolehkan asalkan dilakukan dengan adil, transparan, dan tidak memberatkan, Selain itu, utang sebaiknya diambil hanya dalam keadaan mendesak dan tidak dikenakan biaya tambahan jika terjadi keterlambatan pembayaran.

Pembiayaan syariah bukan sekadar mengganti istilah, melainkan menawarkan sistem yang menjunjung tinggi nilai kemanusiaan dan keberkahan. Oleh karena itu, ketika kita membutuhkan dana, mengapa tidak memilih cara yang lebih tenang, lebih adil, dan lebih sesuai dengan prinsip hidup Islami?

Penulis: Shofa Audiya Yasyfa, Mahasiswa Universitas Tazkia, Fakultas Manajemen Bisnis Syariah

Editor: Handayat

Tag